Sabtu, 31 Juli 2021

Batu Keramat di Gunung Kaledong

Secara administratif Gunung Kaledong berlokasi diantara Desa Ciaro Kecamatan Nagreg Kabupaten Bandung dan Desa Mekarbakti Kecamatan Kadungora Kabupaten Garut.  Gunung ini memiliki ketinggian 1250mdpl bila melihat pada plakat di puncaknya. 

Satu hal yang unik di Gunung ini terdapat batu yang menyerupai Lulumpang/Jubleg. Dalam bahasa indonesia berarti tempat untuk menumbuk padi atau biji-bijian yang biasanya terbuat dari kayu keras sementara pasangannya adalah halu/ alu. 

Menurut  masyarakat Desa Ciaro keberadaan batu jubleg sendiri sudah ada dari sejak jaman kerajaan. Konon dahulu pernah ada seorang ulama yang sakti mandraguna, memiliki pusaka berupa sebuah jubleg dan halu/alu.

Namun pada tahun 1994 pusaka halu/alu di Gunung Kaledong telah dicuri oleh seorang paranormal dari daerah banten. 

Semenjak kejadian tersebut, banyak mitos yang berkembang bila ada orang yang datang dari luar Desa Ciaro akan meninggal tragis. 

Ada juga mitos yang beredar, bahwa jika sore menjelang magrib sering ada penampakan kakek-kakek berjenggot putih yang merupakan jelmaan dari Prabu Siliwangi. 

Apapun mitosnya semoga menjadi khazanah kebaikan untuk kita semua dan mengambil sisi positifnya. 

Dimana Pebrianto, Juli 2021

Persiapan Mendaki Gunung Kaledong

Selepas adzan zuhur berkumandang, saya bergegas mempersiapkan peralatan dan perlengkapan untuk melakukan pendakian ke Gunung Kaledong. Setelah semua selesai kemudian saya mengajak   keponakan yang juga satu  himpunan  yaitu Maliki Rizmal, kebetulan dia sedang ada waktu senggang. 

Berhubung kami akan melakukan pendakian 3 orang atau kelompok,  maka setiba di rumahnya kami mengecek kembali peralatan dan perlengkapan, mengaturnya kembali supaya lebih efisien untuk dibawa. Setelah semua selesai, kami langsung menuju rumah Yudan untuk briefing terakhir.

Sekira Pukul 2 siang kami sampai di rumah Yudan, tak lupa mengecek kembali peralatan dan perlengkapan supaya bila ada peralatan yang kurang bisa dipersiapkan di rumah yudan.  Kami memulai  briefing mengenai manajemen perjalanan, jalur mana yang akan dilalui,  parkir motor, desa terakhir dan lainnya. 

Yudan berkisah bahwa pada pendakian solonya ke Gunung Kaledong, dia diantar oleh temannya sampai kampung terakhir yaitu Kampung Cipari, dan melakukan Pendakian Kurang lebih 2 jam  untuk sampai ke puncak dengan track yang lumayan "netek", dan menemukan dataran yang kemungkinan itu puncaknya. 

Setelah breifing dan mendengarkan ceritanya, kamipun memutuskan untuk melakukan pendakian melalui Kampung Cipari, Desa Mekarbakti.   

Kamipun berangkat dan tak lupa meminta izin serta doa  kepada kedua orang tua Yudan untuk keselamatan dan kelancaran pendakian kami.

Jumat, 30 Juli 2021

Hal Ihwal Mendaki Gunung Kaledong

Ketika berkendara dari Garut ke Bandung mata ini selalu menatap 2 puncakan gunung, menjadi sebuah pertanyaan dalam benak gunung apakah itu. Dan ternyata setelah ngobrol dengan kawan itu adalah Gunung Kaledong.

Gunung Kaledong berada di Kecamatan Kadungora. Kalau kita melalui jalan raya Garut - Bandung posisinya berada di kanan kita dengan 2 puncakan, tapi bila kita lihat dari jalan lintas Nagreg gunung tersebut hanya ada 1 puncakan. Hal inilah menjadi alasan saya ingin mendaki Gunung tersebut. 

Tak selang berapa lama kawan-kawan dari JGB mendaki gunung ini tapi harus mengurungkan niat dikarenakan waktu dan kesempatan yang tidak memungkinkan. 

Tak putus asa saya sambil memegangi gawai mencoba searching via google maps tentang jalur pendakian, puncak dan lainnya. Tak disangka dalam foto puncak Gunung Kaledong ada jejak digital kawan satu himpunan E. Yudan Nazmudin.

Tak perlu waktu lama saya langsung menghubunginya. Dan Alhamdulillah nya dia sedang ada di Kadungora. Kami berkomunikasi untuk merencanakan pendakian ke Gunung Kaledong dan dia yang akan menjadi petunjuk arah (guide) karena katanya sudah 2 kali mendaki Gunung tersebut. 

Setelah berdiskusi terkait waktu ditentukanlah kami akan melakukan pendakian pada hari Sabtu - Minggu, 10 - 11 Juli 2021.

Selasa, 08 Maret 2016

MUNDUR SELANGKAH DEMI MEMENANGKAN PERTARUNGAN

( Puasa Menjelang Gerhana – Purnama )
Pernahkah terlintas difikiran, mengapa kalau orang sakit, maunya tidur melulu. Bukan cuma itu, kucing saya kalau lagi saki  mendadak enggan mengejar bola kesukaannya. Burung yang berhenti berkicau, ikan yang terduduk di sudut sepi aquarium. Tanaman yang meranggas, membuang daun-daunnya seperti di musim gugur. Semuanya bicara satu hal, jika sakit maka nyaris semua aktifitas berhenti.

Ibu ibu yang tadinya lahap dengan kesukaan makan baso pedas. Bapak bapak yang asalnya suka ngopi dan rokok, anak anak yang biasanya ngotot minta permen. Kalau lagi sakit, mendadak ogah makan, ogah kopi, ogah segala macam. Alasannya sama … lidah mendadak pahit rasanya, sehingga makanan selezat apapun, di cicipan sang lidah cuma ada rasa pahit.

Intinya adalah mengurangi segala sesuatu yang menghasilkan energi. Tidur dan diam tak bergerak, berhenti menghasilkan energi / panas mekanik gerak tubuh. Hasil dari perubahan dari Adenosin Trifosfat (ATF) menjadi difosfat + fosfit + energi.

Makanan jelas menghasilkan tambahan energi berupa kalori. Hasil pembakaran gula, protein dan lemak dalam sel. Pasokan energi di stop, sehingga secara logika maka si sakit mengalami defisit energi.

Jika energi berkurang, emang lantas apa yang terjadi ?

Mungkin pertanyaannya sementara harus saya balik, yaitu memang apa yang terjadi jika energi bertambah ?
Bayangkan…
Sebuah pohon mengambil zat zat hara melalui akar dari dalam tanah. Dibawa melalui dahan dan ranting, sampai dipucuk pucuk tanaman. Disana ada putik, lalu berkembang menjadi bakal buah dan beberapa saat kemudian tumbuhlah buah yang matang serta ranum. Semua berasal dari yang sederhana yaitu zat hara, kemudian memunculkan kompleksitas menjadi buah. Seluruhnya membutuhkan energi-energi ikatan, contoh yang bersumber dari sinar matahari, dll. Yang intinya, energi tadi dibutuhkan untuk meningkatkan kompleksitas mahluk.

Bayangkan lagi ….

Sel telur ( sel awal) dirahim seorang ibu. Kemudian beberapa gen nya terekspresikan, menjadi sel-sel umum setengah jadi ( sel ecto, mezo dan endo ). Setelah itu ter DIFERENSIASI menjadi sel-sel yang khas. Seperti kulit, otot, darah, tulang, jantung, organ dalaman lain , dsb. Dalam hal ini diferensiasi berhubungan dengan sel kompleks sehingga bersifat khas dan unik. Ditandai dengan semakin banyaknya ekspresi gen dalam sel tersebut, yang seluruhnya membutuhkan energi
 
                                                                                             ( gambar 1 )



Bayangan berikutnya …..

Pernahkah tangan terkerat pisau ? kemudian perhatikan bagaimana dalam hari hari berikutnya perlahan-lahan sembuh. Dimulai dengan adanya gumpalan darah beku pada ujung luka, kemudian memunculkan jaringan baru. Entah kulit, otot, jaringan, bahkan syaraf terhubung kembali.
Pertanyaannya, bagaimana darah beku atau BLASTEMA ini tahu, bahwa sebagian dari mereka harus menjadi sel-sel spesifik tadi ?
Rober O Becker membuat penelitian, bagaimana ketika kaki salamander dipotong. Lalu bagaimana blastema berubah menjadi sel-sel khusus kembali. Proses pembalikan dari sel menjadi blastema adalah proses DE-DIFERENSIASI alias proses mundur, dari sel kompleks menjadi sel yang lebih sederhana dengan cara melepaskan energi ikatan. Atau melepaskan gen-gen yang seharusnya terekspresi.
Saat semua sudah siap, maka blastema berubah menjadi semakin kompleks, kemudian mengulangi lagi proses diferensiasi dan menghasilkan sel-sel yang kembali pulih, atau istilahnya RE-DIFERENSIASI.
    
                                                                                                  ( Gambar 2 )

Bahkan bayangan yang paling ekstrim….

Salamander di beri bahan kangker ( Carsinogen ), sehingga mengidap penyakit kangker kulit. Salamander yang dibiarkan akan mati. Sedangkan yang dipotong ekornya, bukan hanya ekor baru yang tumbuh, bahkan kangkernya juga sembuh. Dalam hal ini amputasi sebuah struktur, merupakan pengurangan energi ikatan paling besar.
                                                                                                  ( Gambar 3 )
Jadi bisa disimpulkan, bahwa proses penyembuhan diri, selalu akan melibatkan proses diferensiasi lalu de-diferensiasi ( pengurangan energi ) kemudian kembali lagi re-diferensiasi, untuk memunculkan sel-sel sehat. Proses pengurangan energi merupakan kemutlakan dalam penyembuhan diri setiap mahluk apapun di bumi ini. Untuk selanjutnya dimulai proses recovery sehingga tuntas.

Kembali ke awal cerita kita….

Orang sakit mengapa cenderung diam dan tidur, karena itu adalah proses de-diferensiasi. Yaitu mendiamkan sejenak, dan menarik mundur kebelakang, seraya tidak tergopoh gopoh kemasa depan. Orang sakit mengapa cenderung lidahnya pahit, hal itu merupakan gejala alami, agar tubuh tidak dimasuki energi baru, sehingga proses de-diferensiasi bisa berjalan normal. Saat tubuh mulai pulih, maka tiba tiba saja napsu makan berlipat , mamayu kata orang sunda mah … alias makan kaya orang kesurupan … he he

Sadar atau tidak ….

Apa yang terjadi sesungguhnya adalah sebuah proses ber-puasa.
Tubuh berpuasa gerak dan makanan, seraya mengurangi pasokan energi, agar sehat kembali. Bahkan dalam kehidupan keseharian, saat kita tertidur, kemudian terbangun dipagi hari. Itu juga puasa alamiah , sehingga sarapan disebut sebagai break-fasting (breakfast) alias buka puasa.
Berpuasa secara sadar, membuat energi berkurang . Sedang rumus energi jelas, yaitu berbanding lurus dengan frekwensi (f). Puasa membuat frekwensi menurun, terutama di otak. Yang biasanya kebanyakan aktif di gelombang betha ( 13,5 – 35 Hz ) turun , dan sering masuk ke gelombang alpha ( meditasi . tafakur ), atau di wilayah 13,5 – 7,8 hz. Kemudian masuk kedalam gel tetha ( 7,7 – 3 hz ) dimana kita tidur dengan bermimpi. Mimpi adalah sebuah mekanisme tubuh untuk melepaskan trauma bawah sadar, termasuk rasa sakit yang menimbulkan penyakit. Ujungnya kita masuk ke gelombang delta ( 3 – 0,5 hz ), alias tidur lelap, dimana blue print tubuh kita yang sehat, diambil kembali untuk digunakan dalam proses penyembuhan ( proses RE DIFERENSIASI ).
Jadi tak usah heran, tantangan utama waktu puasa adalah rasa kantuk yang berat buanget … he he

Dari sisi ini ….

Saat bulan bumi dan matahari bergerak sejajar. Kemudian ruang waktu melengkung dan mengental. Aliran momen waktu melambat, maka berpuasa adalah hal yang paling tepat. Berdiam diri sejenak, melambatkan frekwensi diri yang sering melonjak tergopoh kemasa depan. Seraya melepaskan energi-energi ikatan yang merusak. Kembali ke keadaan awal (fitrah), untuk kemudian berproses menjadi manusia manusia yang lebih sehat. Bukan hanya secara jasmani, namun juga secara kejiwaannya.
Pelambatan ruang-waktu, bisa menggelisahkan sistem bio-ritme tubuh, sehingga suasana mental dan emosi terganggu. Kecuali jika pelambatan ini, justru secara sadar ( dipahami ) kita gunakan untuk dijadikan bahan resonansi tubuh, agar juga melambat, dengan tujuan untuk pemulihan diri. Yaitu dengan melepaskan energi energi yang tak perlu ( hawa nafsu ) . Sehingga proses de-diferensiasi dan re diferensiasi, kembali tercapai dengan harmonis serta setimbang / homeostasis .
Dalam khazanah budaya, peninggalan warisan leluhur dikenal dengan mutih , alias hanya makan nasi saja. Demikian pula dengan pantangan pantangan lainnya, yang secara ontologis beberapa diantaranya memang sesuai dengan science.

Well brow ….

Sikapi sewajarnya saja, tak usah dilebih lebihkan, namun tak perlu juga dikurang kurangkan.
Tak semata ada anjuran dan titah, jika tidak ada manfaatnya …
Sebuah sikap mundur selangkah, untuk maju dua langkah
Seraya memenangkan pertempuran, melawan sang ego diri
Its science, and not a sorcery ….
Wallahualam ….

Sumber Kang Yat Lessie