( Puasa Menjelang Gerhana – Purnama )
Pernahkah terlintas difikiran, mengapa kalau orang sakit, maunya tidur melulu.
Bukan cuma itu, kucing saya kalau lagi saki mendadak enggan mengejar
bola kesukaannya. Burung yang berhenti berkicau, ikan yang terduduk
di sudut sepi aquarium. Tanaman yang meranggas, membuang daun-daunnya
seperti di musim gugur. Semuanya bicara satu hal, jika sakit maka nyaris
semua aktifitas berhenti.
Ibu ibu yang tadinya lahap dengan
kesukaan makan baso pedas. Bapak bapak yang asalnya suka ngopi dan
rokok, anak anak yang biasanya ngotot minta permen. Kalau lagi sakit,
mendadak ogah makan, ogah kopi, ogah segala macam. Alasannya sama …
lidah mendadak pahit rasanya, sehingga makanan selezat apapun, di
cicipan sang lidah cuma ada rasa pahit.
Intinya adalah mengurangi segala sesuatu yang menghasilkan energi. Tidur dan diam tak
bergerak, berhenti menghasilkan energi / panas mekanik gerak tubuh.
Hasil dari perubahan dari Adenosin Trifosfat (ATF) menjadi difosfat +
fosfit + energi.
Makanan jelas menghasilkan tambahan energi berupa
kalori. Hasil pembakaran gula, protein dan lemak dalam sel. Pasokan
energi di stop, sehingga secara logika maka si sakit mengalami defisit
energi.
Jika energi berkurang, emang lantas apa yang terjadi ?
Mungkin pertanyaannya sementara harus saya balik, yaitu memang apa yang terjadi jika energi bertambah ?
Bayangkan…
Sebuah pohon mengambil zat zat hara melalui akar dari dalam tanah.
Dibawa melalui dahan dan ranting, sampai dipucuk pucuk tanaman. Disana
ada putik, lalu berkembang menjadi bakal buah dan beberapa saat
kemudian tumbuhlah buah yang matang serta ranum. Semua berasal dari yang
sederhana yaitu zat hara, kemudian memunculkan kompleksitas menjadi
buah. Seluruhnya membutuhkan energi-energi ikatan, contoh yang bersumber
dari sinar matahari, dll. Yang intinya, energi tadi dibutuhkan untuk
meningkatkan kompleksitas mahluk.
Bayangkan lagi ….
Sel telur
( sel awal) dirahim seorang ibu. Kemudian beberapa gen nya
terekspresikan, menjadi sel-sel umum setengah jadi ( sel ecto, mezo dan
endo ). Setelah itu ter DIFERENSIASI menjadi sel-sel yang khas. Seperti
kulit, otot, darah, tulang, jantung, organ dalaman lain , dsb. Dalam hal
ini diferensiasi berhubungan dengan sel kompleks sehingga bersifat khas
dan unik. Ditandai dengan semakin banyaknya ekspresi gen dalam sel
tersebut, yang seluruhnya membutuhkan energi
( gambar 1 )
Bayangan berikutnya …..
Pernahkah tangan terkerat pisau ? kemudian perhatikan bagaimana dalam
hari hari berikutnya perlahan-lahan sembuh. Dimulai dengan adanya
gumpalan darah beku pada ujung luka, kemudian memunculkan jaringan baru.
Entah kulit, otot, jaringan, bahkan syaraf terhubung kembali.
Pertanyaannya, bagaimana darah beku atau BLASTEMA ini tahu, bahwa
sebagian dari mereka harus menjadi sel-sel spesifik tadi ?
Rober O
Becker membuat penelitian, bagaimana ketika kaki salamander dipotong.
Lalu bagaimana blastema berubah menjadi sel-sel khusus kembali. Proses
pembalikan dari sel menjadi blastema adalah proses DE-DIFERENSIASI alias
proses mundur, dari sel kompleks menjadi sel yang lebih sederhana
dengan cara melepaskan energi ikatan. Atau melepaskan gen-gen yang
seharusnya terekspresi.
Saat semua sudah siap, maka blastema berubah
menjadi semakin kompleks, kemudian mengulangi lagi proses diferensiasi
dan menghasilkan sel-sel yang kembali pulih, atau istilahnya
RE-DIFERENSIASI.
( Gambar 2 )
Bahkan bayangan yang paling ekstrim….
Salamander di beri bahan kangker ( Carsinogen ), sehingga mengidap
penyakit kangker kulit. Salamander yang dibiarkan akan mati. Sedangkan
yang dipotong ekornya, bukan hanya ekor baru yang tumbuh, bahkan
kangkernya juga sembuh. Dalam hal ini amputasi sebuah struktur,
merupakan pengurangan energi ikatan paling besar.
( Gambar 3 )
Jadi bisa disimpulkan, bahwa proses penyembuhan diri, selalu akan
melibatkan proses diferensiasi lalu de-diferensiasi ( pengurangan energi
) kemudian kembali lagi re-diferensiasi, untuk memunculkan sel-sel
sehat. Proses pengurangan energi merupakan kemutlakan dalam penyembuhan
diri setiap mahluk apapun di bumi ini. Untuk selanjutnya dimulai proses
recovery sehingga tuntas.
Kembali ke awal cerita kita….
Orang
sakit mengapa cenderung diam dan tidur, karena itu adalah proses
de-diferensiasi. Yaitu mendiamkan sejenak, dan menarik mundur
kebelakang, seraya tidak tergopoh gopoh kemasa depan. Orang sakit
mengapa cenderung lidahnya pahit, hal itu merupakan gejala alami, agar
tubuh tidak dimasuki energi baru, sehingga proses de-diferensiasi bisa
berjalan normal. Saat tubuh mulai pulih, maka tiba tiba saja napsu makan
berlipat , mamayu kata orang sunda mah … alias makan kaya orang
kesurupan … he he
Sadar atau tidak ….
Apa yang terjadi sesungguhnya adalah sebuah proses ber-puasa.
Tubuh berpuasa gerak dan makanan, seraya mengurangi pasokan energi,
agar sehat kembali. Bahkan dalam kehidupan keseharian, saat kita
tertidur, kemudian terbangun dipagi hari. Itu juga puasa alamiah ,
sehingga sarapan disebut sebagai break-fasting (breakfast) alias buka
puasa.
Berpuasa secara sadar, membuat energi berkurang . Sedang
rumus energi jelas, yaitu berbanding lurus dengan frekwensi (f). Puasa
membuat frekwensi menurun, terutama di otak. Yang biasanya kebanyakan
aktif di gelombang betha ( 13,5 – 35 Hz ) turun , dan sering masuk ke
gelombang alpha ( meditasi . tafakur ), atau di wilayah 13,5 – 7,8 hz.
Kemudian masuk kedalam gel tetha ( 7,7 – 3 hz ) dimana kita tidur dengan
bermimpi. Mimpi adalah sebuah mekanisme tubuh untuk melepaskan trauma
bawah sadar, termasuk rasa sakit yang menimbulkan penyakit. Ujungnya
kita masuk ke gelombang delta ( 3 – 0,5 hz ), alias tidur lelap, dimana
blue print tubuh kita yang sehat, diambil kembali untuk digunakan dalam
proses penyembuhan ( proses RE DIFERENSIASI ).
Jadi tak usah heran, tantangan utama waktu puasa adalah rasa kantuk yang berat buanget … he he
Dari sisi ini ….
Saat bulan bumi dan matahari bergerak sejajar. Kemudian ruang waktu
melengkung dan mengental. Aliran momen waktu melambat, maka berpuasa
adalah hal yang paling tepat. Berdiam diri sejenak, melambatkan
frekwensi diri yang sering melonjak tergopoh kemasa depan. Seraya
melepaskan energi-energi ikatan yang merusak. Kembali ke keadaan awal
(fitrah), untuk kemudian berproses menjadi manusia manusia yang lebih
sehat. Bukan hanya secara jasmani, namun juga secara kejiwaannya.
Pelambatan ruang-waktu, bisa menggelisahkan sistem bio-ritme tubuh,
sehingga suasana mental dan emosi terganggu. Kecuali jika pelambatan
ini, justru secara sadar ( dipahami ) kita gunakan untuk dijadikan bahan
resonansi tubuh, agar juga melambat, dengan tujuan untuk pemulihan
diri. Yaitu dengan melepaskan energi energi yang tak perlu ( hawa nafsu )
. Sehingga proses de-diferensiasi dan re diferensiasi, kembali tercapai
dengan harmonis serta setimbang / homeostasis .
Dalam khazanah
budaya, peninggalan warisan leluhur dikenal dengan mutih , alias hanya
makan nasi saja. Demikian pula dengan pantangan pantangan lainnya, yang
secara ontologis beberapa diantaranya memang sesuai dengan science.
Well brow ….
Sikapi sewajarnya saja, tak usah dilebih lebihkan, namun tak perlu juga dikurang kurangkan.
Tak semata ada anjuran dan titah, jika tidak ada manfaatnya …
Sebuah sikap mundur selangkah, untuk maju dua langkah
Seraya memenangkan pertempuran, melawan sang ego diri
Its science, and not a sorcery ….
Wallahualam ….
Sumber Kang Yat Lessie